Share

Sejarah Tidak Berulang

Arpan Rachman , Okezone · Jum'at 22 Agustus 2014 15:06 WIB
https: img.okezone.com content 2014 08 22 59 1028448 Yyyvrt8maC.jpg
A A A

SEJARAH berulang menurut peribahasa Prancis. Bisa saja tidak terulang, tapi terbalik. Peribahasa itu boleh jadi keliru. Tapi itu kalau kita mau menyalahkannya.

 

Seperti sejarah buruk, kita tak mau mengulanginya lagi, bukan? Penjajahan ala VOC dan Dai Nippon, misalnya, tentu harus hilang dari ingatan. Apakah kita ingin takluk seperti dulu jadi budak bangsa asing kembali?

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

Di sisi lain, masih terjadi kekerasan atas nama ras dalam alam bawah sadar di penjuru Nusantara. Jika membiarkan dan mengabaikannya, kita terjerumus dalam situasi gagal bernegara. Suka atau tidak, dari awalnya pertikaian antar-ras-lah berbentuk peperangan antarsuku-puak-kaum yang berbeda tak sudi mengalah satu sama lain, kita kini menderita trauma batin sebagai keturunan di bekas negeri jajahan.

 

Bagaimana sentimen ras itu bisa muncul justru setelah 69 tahun kita merdeka? Begini, ada beberapa pihak tetap menilai orang Jawa itu lugu cenderung – maaf – dungu. “Wajah pedesaan” dalam sosok orang Jawa dianggap mudah dimanfaatkan. Apalagi bila jiwa kejawaan itu dikaitkan dengan tradisi kerakyatan yang hingga kini dapat terus ditemui di pulau terbanyak penduduknya di republik ini.

 

Asas manfaat membuat pihak – dari manapun asalnya pihak itu – yang  menyematkan anggapan tersebut pasti merasa lebih hebat dan lebih tinggi ketimbang orang Jawa. Jika ada kesempatan menelikung si lugu itu niscaya kekuasaan berpindah tangan. Bahaya juga kalau begitu bagi keselamatan bangsa dan negara. Tapi waktu akan membuktikan: adakah pihak yang memanfaatkan kesempatan?

 

Suasananya agak mirip dengan isi tetralogi novel berseri Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Diceritakan, orang Belitung sering menganggap orang dari Palembang sebagai pihak yang selalu maunya berkuasa atas pribumi di pulau penghasil timah.

 

Kalau ada orang asal Palembang – apalagi pegawai negeri – dikirim ke Belitung, kebanyakan menempati posisi bagus di instansi dan – karena itu – merasa berhak memerintah mereka. Sentimen rasis menjadi bahasa tak tertulis yang lestari di diri orang Belitung terhadap orang Palembang. Setidaknya hingga novel itu ditulis Hirata.

Tapi, keadaan tersebut bukan fiksi. Bukankah Bangka-Belitung bersikeras berpisah dari Sumatra Selatan menjadi provinsi terbaru setelah meletusnya kudeta Reformasi? Orang Babel berhasil mencuri kesempatan.

 

Sejarah bisa berulang. Tapi kita bukan orang Prancis.

 

Sewaktu pemilihan presiden, orang Jawa diberi kekuasaan, semua pihak lain akan mempersilakannya “monggo”. Namun, tatkala terlena dalam kekuasaan itu lekas-lekas dia ditumbangkan. Lihatlah, kisah Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur yang rubuh secara mengejutkan. Serupa semua; sebelum akhir waktunya.

 

Kita mencatat hanya Susilo Bambang Yudhoyono yang makin ke ujung masa bertahtanya makin tampak arif bijaksana. SBY tak mau mengumbar ambisi terang-terangan. Semoga ini bukan pencitraan semata-mata dan mudah-mudahan suksesi presiden berlangsung sukses di Oktober nanti.

 

Hingga kini tak ada satu pun pihak yang bernafsu meruntuhkan kursi presiden berkuasa yang mulanya banyak menuai kritik ini. Setelah kritik pedas dan kecaman tajam bertahun-tahun silam, eloklah kiranya besok kita ucapkan terima kasih untuk SBY.

 

Kepada dirinya kita harus jujur berkata: negarawan memang adalah sebuah rupa dari bakat istimewa yang diciptakan sejak dilahirkan. SBY memiliki itu sebagai waskita. Ia terbukti sejauh ini bukan tokoh yang dibuat-buat dengan citra kepalsuan duniawi yang begitu cepatnya hingga terkesan tergesa-gesa.

(mbs)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini