Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Beda Rapid Test dan PCR untuk Melacak Pasien Corona COVID-19

Martin Bagya Kertiyasa, Jurnalis · Kamis 09 April 2020 18:00 WIB
https: img.okezone.com content 2020 04 09 620 2196827 beda-rapid-test-dan-pcr-untuk-melacak-pasien-corona-covid-19-1mJR5aV2zV.jpg
A A A

SUDAH lebih dari 450 ribu rapid test kit atau alat pendeteksi virus disebar ke seluruh Indonesia untuk memudahkan pelacakan virus corona COVID-19. Utamanya, alat ini akan digunakan pada tenaga medis terlebih dahulu.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto menyebut, tujuannya rapid test ini untuk melakukan penyaringan, penjaringan, penelusuran kontak pada tenaga kesehatan dan komunitas di daerah yang mendapatkan banyak kasus positif corona (COVID-19). "Ini strategi awal terkait pemeriksaan tes,” katanya.

Menurutnya, ada dua alasan utama mengapa penting dilakukan pengujian terhadap khalayak atau mendiagnosa mereka secara individu, serta mengetahui seberapa luas penyebaran virus corona. Pengujian ini, dapat membantu layanan kesehatan melakukan perencanaan, termasuk menyiapkan unit perawat intensif.

Pengujian juga bisa memberikan informasi kepada pembuat kebijakan mengenai langkah menjaga jarak alias physical distancing. Sebagai contoh, jika banyak orang diketahui telah terjangkit virus corona, maka karantina wilayah atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta perlu diterapkan.

(Baca Juga : 2 Alasan Kenapa Rapid Test Harus Dilakukan di Indonesia)

Pasalnya, jika tidak melakukan pengujian secara luas, berarti banyak orang harus mengisolasi diri mereka tanpa alasan. Termasuk para tenaga kesehatan.

Namun, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letjen Doni Monardo mengatakan tes kesehatan terkait virus corona dengan metode pengambilan sampel darah kilat alias rapid test kurang efektif dan akurat. Meski demikian, rapid test ini ditempuh pemerintah karena dinilai lebih murah.

Kepala BNPB ini mengatakan, kini pemerintah mulai memilih opsi pengambilan sampel lendir hidung atau tenggorokan (Polymerase Chain Reaction/PCR). Doni mengatakan sering kali rapid test menunjukkan hasil pemeriksaan pasien positif corona. Kemudian saat dilakukan tes kedua lewat PCR, hasilnya berubah menjadi negatif. Sering juga hasil sebaliknya terjadi.

(Baca Juga : 27.696 Warga Jakarta Jalani Rapid Test, 829 Orang Positif Corona)

Meski begitu, Doni menyebut pemerintah tidak akan meninggalkan rapid test sepenuhnya. Mereka akan mencari produk rapid test yang paling akurat sebagai pendamping PCR.

Lantas, apa beda PCR dengan Rapid Test?

Follow Berita Okezone di Google News

Achmad Yurianto kembali menjelaskan, rapid test yang dilaksanakan berbasis data menggunakan darah. Dengan alat tersebut, akan diketahui apakah ada virus kurang dari 2 menit. Tapi, tidak lantas berhenti di rapid test, jika terbukti positif maka mereka akan diperiksa lagi dengan PCR.

Tapi, Departemen Kesehatan Filipina mengatakan bahwa sample lewat darah tersebut rentan terhadap negatif palsu. Pasalnya, alat tersebut mungkin tidak dapat mendeteksi antibodi pada tahap awal infeksi.

Sementara untuk PCR, akan menggunakan sampel cairan dari saluran pernapasan bawah sebagai bahan pemeriksaan. PCR atau kerap disebut swab test, dilakukan dengan mengambil sample cairan di bagian belakang tenggorokan.

Tapi, kekurangannya adalah metode PCR ini memakan waktu 10 kali lipat lebih lama, yakni sekira 20 hingga 30 menit. Meski demikian, Metode PCR diklaim memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap virus COVID-19.

(Baca Juga : Mengenal Jenis Tes Corona COVID-19, Indonesia Pakai yang Mana?)

Pada metode PCR, ketika sampel cairan dari saluran pernapasan bawah tiba di lab, para peneliti mengesktrak asam nukleat di dalamnya. Asam nukleat tersebut mengandung genom virus yang dapat menentukan adanya infeksi atau tidak dalam tubuh.

Berbeda dengan rapid test yang melihat virus dalam darah, PCR akan mengetahui ada tidaknya virus atau DNA virus, serta untuk mengetahui genotipe virus yang menginfeksi bisa dilakukan sekuensing.

(Baca Juga : Waspadai DBD di Tengah Pandemi COVID-19)

Setelah itu baru dimasukkan ke mesin, yang berfungsi untuk memperbanyak RNA agar bisa terbaca oleh spektrofotometer. Akhirnya, hasilnya akan didapat positive control dengan gambaran kurva sigmoid. Sedangkan kalau hasilnya negatif, maka tidak berbentuk kurva, bentuknya mendatar saja.

Hingga kini, pemerintah telah melakukan lebih dari 16 ribu pemeriksaan dengan menggunakan metode PCR. "Sudah 16.500 pemeriksaan spesimen untuk pemeriksaan dengan metode PCR,” ujar Yuri.

Meskipun kurang akurat, bukan berarti rapid test tidak berguna loh. Pasalnya, banyak negara juga memakai metoda yang sama. Korea Selatan misalnya, mampu melakukan pengujian lebih luas dari Inggris, bertindak sangat cepat untuk menyetujui produksi alat tes, sehingga dapat membangun stok yang cukup.

Meski populasi Korsel lebih sedikit dari Inggris, negara itu punya laboratorium lebih banyak dua kali lipat. Sehingga kecepatannya untuk menguji per pekan dua kali lebih cepat. Di dua negara ini menggunakan rapid test dan polymerase chain reaction (PCR).

(Baca Juga : Ungkapan Romantis Mutia Ayu untuk Glenn Fredly: Aku Beruntung Memilikimu)

Lalu Jerman menjalankan tes tiga kali lebih banyak dari Inggris. Jerman telah menguji lebih dari 1.096 orang per 100.000 penduduk. Sedangkan Inggris, telah menguji lebih dari 348 orang dari 100.000 penduduk.

Sebagai perbandingan, Italia menguji 895 orang per 100.000 jiwa; Korsel menguji 842 orang per 100.000 jiwa; AS menguji 348 orang per 100.000 jiwa; dan Jepang menguji 27 orang dari 100.000 jiwa.

Tapi, dengan adanya rapid test dan PCR ini, tidak serta merta dapat mencegah persebaran virus. Hanya ada satu cara mencegah persebaran virus yang efektif. “Sejak awal physical distancing jadi kunci sukses pelaksanaan pengendalian penularan COVID-19, saat ini dirasa perlu untuk memperkuat physical distancing ini," jelas Yuri.

1
3

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini