Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Ghirah Pemuda, Kebangkitan Nasional dan Jebakan Pseudo-Kritis

Rabu 20 Mei 2020 23:18 WIB
https: img.okezone.com content 2020 05 20 620 2217320 ghirah-pemuda-kebangkitan-nasional-dan-jebakan-pseudo-kritis-bAWmsCqIQ5.jpg
A A A

Lahirnya Kebangkitan Nasional tidak bisa lepas dari peranan munculnya organisasi Sarekat Dagang Islam, periode yang terjadi di awal abad ke-20 di Indonesia.

Salah satu etape signifikan sejarah Kebangkitan Nasional ialah lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905 dibawah kepemimpinan Haji Samanhudi, saudagar batik di Solo. Sarekat Dagang Islam merupakan titik awal kesadaran bangsa Indonesia dalam memperjuangkan nasib sendiri. Sarekat Dagang Islam patut dicatat sebagai “perintis kebangkitan nasional”.

Adapun tujuan didirikannya Sarekat Dagang Islam ialah untuk memperkuat kedudukan ekonomi kaum pribumi. Kondisi ekonomi Indonesia pada waktu itu sedang merosot tajam. Industri batik mengalami kesulitan keuangan yang luar biasa. Di lapangan pertanian, hasil panen sawah ketika itu tidak menentu dan petani miskin makin terlilit utang pada lintah darat atau rumah-rumah gadai milik bangsa Tionghoa. Keadaan itu memaksa Indonesia mengimpor beras dari Rangoon dan Saigon. Belum lagi sistem sewa tanah yang mencekik petani tebu.

(Baca Juga : Heboh Habib Bahar bin Smith, Apa Beda Habib, Syarif dan Syarifah?)

Periode ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia sadar akan dirinya sebagai “orang Indonesia”. Masa tersebut memiliki sign of nature, yang terdiri dari dua hal, yaitu Pendirian Budi Oetomo (20 Mei 1908) dan Ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Masa-masa tersebut juga merupakan embrio yang lahir dari rahim politik etis semenjak masa Douwes Dekker atau Multatuli.

Gagasan kebangkitan nasional

Kebangkitan nasional tidak lahir dari narsisme tunggal anak bangsa yang mengkondisikan panggung-panggungnya sendiri. Kebangkitan nasional lahir dari perjuangan kolektif dan juga kesadaran kolektif. Embrio kebangkitan nasional ini pernah diceritakan kembali oleh Hendri Teja dalam novel biografi Tan Malaka (Teja, 2016:125), yang diterbitkan oleh Javanica, dimana konsepsi kebangkitan nasional memiliki rantai gagasan yang sangat penting, dari seorang anak muda yang mendapatkan beasiswa di Belanda kemudian diceritakan secara tidak sengaja kepada Soewardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dari perjumpaan yang tidak disengaja pula di Kantor Pos.

Gagasan itu lahir pada babak lanjutan dari perjumpaan tersebut terjadi pada pertemuan kaum Pelajar Indonesia (sebutan saat itu-Pelajar Hindia). Ki Hajar Dewantara berpidato:

“Mari bersulang untuk Politik Etis, Ya, tapi kemudian aku berpikir, Tuan-tuan. Aku benar-benar berpikir tentang apa yang selanjutnya akan kita lakukan. Untuk apa pendidikan kita? Untuk apa kita menjadi orang terpelajar? Hanya untuk menjadi sekrup dalam mesin sistem pemerintahan? Tidak mungkin. Mestinya kita juga memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi kepada gubermen Hindia. Mestinya di Hindia, di tanah air kita, juga ada dewan rakyat sehingga kita dapat berpartisipasi untuk menentukan perkara-perkara besar bagi Hindia. Zaman berubah, Tuan-tuan, dan perhimpunan kita pun mesti berubah. Sudah saatnya kita bertindak nyata untuk kesejahteraan rakyat Hindia” (Teja, 2016).

(Baca Juga : Kisah Wanita Inggris di Zaman Ratu Victoria, Masuk Islam Usai Bertemu Paus)

Banyak Pelajar Hindia yang memprotes Ki Hajar Dewantara saat itu karena dianggap melawan Politik Etis dari Belanda, lalu Ki Hajar menjelaskan bahwa kesadaran tersebut didapatkan saat bertemu dengan Tan Malaka. Keinginan dua pemuda ini ialah menjadi bagian dari dewan rakyat (volksraad).

Tan Malaka pun menyambung Ki Hajar dengan menyampaikan sebuah peribahasa tua, “Hanya perempuan yang mengerti perempuan. Hanya rakyat Hindia (Rakyat Indonesia) yang paham apa yang mereka inginkan. Dewan Rakyat yang berisi orang Belanda tak akan pernah mengecap kehidupan Hindia hanya omong kosong.

Dari embrio perjumpaan dua tokoh tersebut, akhirnya terbentuklah Volksraad (Dewan Rakyat) pada tanggal 16 Desember 1916. Sangat disayangkan, saat terbentuknya Volksraad, Tan Malaka dalam masa pengejaran Intelijen Belanda dan kembali ke Indonesia menjadi guru di sebuah perkebunan sawit.

Follow Berita Okezone di Google News

Nalar kolektif pemuda

Sebelum bertemu dengan Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara yang merupakan anggota Komite Bumi Putra, dibantu Tjipto Mangunkusumo menuliskan gagasan artikel-nya yang berjudul "Als ik eens Nederlander was" ("Seandainya aku seorang Belanda"), pada tanggal 20 Juli 1913 yang mengkritik keras rencana pemerintah Hindia Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia).

Gara-gara tulisan tersebut Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara dikenakan sanksi hukuman dan diasingkan ke Banda dan Bangka, tetapi Tjipto dan Ki Hajar "dibolehkan memilih", keduanya dibuang ke Negeri Belanda. Di Belanda, Suwardi fokus mempelajari ilmu pendidikan dan Tjipto Mangunkusumo mengalami sakit hingga akhirnya dipulangkan ke Hindia Belanda.

Dari dua kepingan sejarah diakronik di atas, terlihat bahwa kaum muda seperti Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, Multatuli, Tjipto Mangunkusumo dan Sutomo menghendaki kebangkitan nasional lahir dengan kesadaran kolektif. Mereka tidak melakukan hegemoni dan dominasi sejarah kebangkitan nasional dalam wadah Budi Oetomo dari panggung-panggung personal.

Mereka juga tidak saling jilat-menjilat dan puji-memuji basa-basi satu sama lain, melainkan melakukan pergulatan nalar yang sehat hingga melahirkan Budi Utomo yang menjadi salah satu tanda sejarah kebangkitan nasional. Dari sedikitnya kepingan-kepingan sejarah kebangkitan nasional tersebut berlanjut terus menerus hingga berujung pada Sumpah Pemuda di tahun 1928.

(Baca Juga : Arab Saudi Lockdown, Tak Ada Sholat Idul Fitri di Masjidil Haram)

Potongan dari dua potret rangkaian kebangkitan nasional tersebut setidaknya harus dipahami sebagai pelajaran yang mesti dipetik di era sekarang ini untuk kaum muda yang disebut milenial. Saya sejujurnya tidak bisa membayangkan kata ‘milenial’ tersebut berpijak dari epistemik apa dan ontologi yang mana?. Namun, karena milenial ini menjadi ijma’ atau konsensus bahasa kekinian yang dipahami sedemikian, maka saya ‘terpaksa’ menerima-nya. Ada dua hal yang dapat menjadi ‘hikmat-kebijaksanaan’ dalam potongan sejarah yang diakronik tersebut.

Pertama, gagasan kebangkitan nasional tidak lahir dari ruang hampa yang bersifat pseudo-kritis. Kebangkitan nasional lahir dari kesadaran yang tidak di pengaruhi oleh pragmatisme yang narsis untuk membentuk konflik dan juga terbebas dari politik panggung semata dalam pembentukan konflik itu sendiri.

Seringkali terjadi akhir-akhir ini, gagasan pemuda saat ini (milenial?) cenderung tidak berumur panjang dan juga tidak memiliki potensi kesejarahan masa depan. Kalaupun ada, itu tidak mewarnai alam kesejarahan yang sistemik bahkan cenderung terputus karena lahir dari panggung pragmatisme yang sangat parsial. Misalnya, pemuda ramai mengikuti isu-isu aktual tapi kadang tidak menyediakan solusi-nya. Argument yang dibangun adalah, “tugas kami mengkritik penguasa, kalian sebagai penguasa yang mencari jalan-nya”.

Di sisi lainnya, telah juga terjadi potret komunitas pemuda yang menyediakan gagasan tapi bersifat parsial atau berdiri sendiri karena narsisme. Gagasan seperti hal tersebut tidak sinkronik dari harapan masa lalu rangkaian gagasan-gagasan kebangkitan nasional itu sendiri. Ini terjadi ketika ada yang menggagas pentingnya narasi kelautan tanpa kedaulatan ruang udara/digital. Bukankah dari kesejarahan, seorang tokoh Muhammadiyah, Ir. Juanda telah menyediakan embrio gagasannya soal hal tersebut untuk dilahap habis (Deklarasi Juanda)?

Kedua, kebangkitan nasional adalah esensi kesadaran substansial dan juga merupakan persatuan kolektivisme nalar pemuda yang sehat secara nutrisi intelektual dan juga mewah secara konsepsi gagasan. Ini bisa diartikan bahwa gagasan yang mewah dan sehat secara kritis-transformatif hingga menyejarah adalah gagasan yang dilakukan secara bersama-sama, secara gotong dan royong, atau secara jam’iyyah.

Ini persoalan serius. Sesungguhnya, pemuda hari ini terjebak dalam panggung-panggungnya sendiri tanpa berusaha membesarkan sahabat penggagas lainnya yang telah diajak untuk menemukan konsepsi yang lahir dari panggung kesejarahan. Tentunya, ini jamak terjadi bahkan seringkali mewarnai kehidupan pemuda kita saat ini.

Namun saya meyakini, di tengah kondisi demikian, ghirah kebangkitan akan muncul melalui optimisme mereka yang membakar semangat menuju perubahan. Semua pihak mendambakan keadaan yang lebih baik, lebih tertata, dialogis, dan sinergi. Para pemudalah kunci dan aktor yang mewujudkannya.

Fadhly Azhar

Mahasiswa Doktoral UIN Ciputat Angkatan 2019

1
2

Berita Terkait

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini