Share
Muhamad Mustaqim

Menakar Uji Kompetensi Guru

Rabu 10 Oktober 2012 10:28 WIB
https: img.okezone.com content 2012 10 10 58 701708 q5b11p4ehz.jpg
A A A

Oktober ini, dilaksanakan Uji Kompetensi Guru (UKG) gelombang kedua. UKG gelombang pertama yang telah dilaksanakan pada bulan Juli kemarin banyak menuai kontroversi. Sebagian kalangan menilai bahwa UKG tidak mempunyai “cantolan” hukum yang jelas. Bahkan ada yang menganggap bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan hirarki hukum diatasnya, yakni Undang-undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Sehingga ada beberapa pihak yang mencoba menggugat kebijakan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

Secara umum, memang kebijakan UKG ini memiliki banyak kelemahan. Pertama, UKG tidak mempunyai dasar hukum yang jelas, sehingga terjadi ketidakpastian hukum. Memang secara eksplisit tidak ada Undang-undang yang mengatur keberadaan UKG ini. UKG ini hanya dilandasi Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan. Dan Permen ini dinilai tidak sejalan dengan peraturan diatasnya, yakni Undang-undang. Dalam UUGD, kompetensi guru meliputi empat aspek, yakni pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Sedangkan materi yang diujikan dalam UKG hanya meliputi dua aspek, yakni hanya aspek pedagogik dan profesional. Hal inilah yang oleh sebagian kalangan dinilai kontraproduktif dalam kepastian hukum. Selain itu, kompetensi guru sebagaimana amanat UUGD bisa didapatkan melalui pendidikan profesi, bukan melalui UKG ini.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Kedua, Secara teknis pemerintah terbukti belum siap melaksanakan UKG. Indikatornya dapat dilihat melalui pelaksanaan UKG gelombang pertama yang masih mempunyai banyak kekurangan, serta UKG gelombang kedua yang gagal dilaksanakan. Kendala teknis dan administrasi masih menjadi alasan gagalnya pelaksanaan UKG. Dengan demikian, UKG berikutnya masih dijadwal ulang bagi guru-guru yang belum mengikutinya. Kendala teknis ini tampaknya menjadi pembenar bahwa pemerintah masih belum serius dan kurang profesional dalam penyelenggaraan UKG. Mengingat penyelenggaraan UKG secara serempak memang harus didukung oleh sistem dan administrasi yang terprogram dengan baik.

Ketiga, penyelenggaraan UKG menyerap anggaran yang luar biasa besar. Penyelenggaraan UKG yang secara menyeluruh dan serempak tersebut tentu saja membutuhkan anggaran yang banyak, baik dari segi sarana, perlengkapan maupun sumber daya manusia. Sehingga ada kesan bahwa penyenggaraan UKG hanya untuk menghabiskan anggaran pendidikan yang 20% tersebut, mengingat daya serap APBN untuk pendidikan beberapa tahun terakhir ini masih belum maksimal. Jika dugaan ini benar, maka UKG tidak lebih adalah kegiatan yang dipaksakan, main-main dan tidak mempunyai visi yang jelas.

Butuh Format yang Produktif

Meskipun memiliki banyak kelemahan baik secara yuridis dan teknis, namun sebenarnya ada secercah harapan dari pelaksanaan UKG untuk kemajuan pendidikan kita. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru yang saat ini sudah berlangsung memiliki banyak kelemahan. Tunjangan profesi bagi guru yang bersertifikasi selama ini terkesan hanya untuk memenuhi aspek kesejahteraan saja. Namun ruh kompetensi yang tersirat dalam sertifikasi guru seringkali terlupakan. Sehingga tunjangan sertifikasi yang sudah menghabiskan anggaran yang luar biasa ini tidak mempunyai dampak yang signifikan bagi kualitas pendidikan. Kebijakan sertifikasi guru – termasuk dosen – masih terjebak pada aspek formalitas yang sepi substansi.

Jika mengikuti alur berfikir tersebut, maka UKG mendapatkan titik signifikansinya. UKG seolah mau “menagih” kompetensi guru dan dosen yang telah dijanjikan dalam evaluasi sertifikasi, baik yang melalui proses portofolio maupun yang melalui Diklat. UKG seakan memperingatkan guru, bahwa keseriusan kompetensi guru tidak hanya berlaku saat pengajuan sertifikasi saja, namun harus dilakukan secara konsisten. UKG juga menjadi cambuk semangat bagi guru untuk  selalu berusaha belajar dan meningkatkan kualitas kompetensinya. Jika ini yang diinginkan dari UKG, maka kebijakan UKG ini pantas mendapatkan apresiasi. Dan tentunya hal ini harus didukung oleh sistem dan suber daya yang kompeten. Sehingga kebijakan UKG ini tidak mengalami kegagalan yang pernah dialami oleh “saudara tua” nya, yakni kebijakan sertifikasi kompetensi pendidik.

Sampai sini, UKG harus diformat secara komprehensif untuk benar-benar mampu memetakan kompetensi guru secara riil. Penggunaan teknologi dalam UKG ini memberi angin segar bagi penututan celah kecurangan, sebagaimana persoalan klasik yang menimpa pada pelaksanaan Ujian Nasional. Dan hal yang juga cukup penting, bahwa UKG ini harus mempunyai dampak produktif bagi peserta itu sendiri. Artinya, guru yang masih mempunyai nilai kompetensi yang rendah, sebagaimana hasil UKG, harus mendapatkan treatment, perlakuan yang sesuai. Di sinilah metode reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) relevan untuk diberlakukan. Ini tentu  saja bukan bermaksud untuk memotong kesejahteraan guru, namun jauh dari itu adalah upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, melalui kualitas tenaga pendidik yang kompeten.

Sangat menyayangkan sekali, jika anggaran pendidikan yang luar biasa besar ini, hanya menjadi “bancakan” pihak-pihak tertentu, tanpa memberi dampak yang signifikan bagi kualias pendidikan kita. I’tikat baik yang sudah dicanangkan oleh para pemimpin bangsa, yang telah menganggarkan 20% APBN untuk pendidikan harus ditasyarrufkan dengan baik, dan berbasis pada peningkatan kualitas pendidikan. Semoga kebijakan UKG ini akan mampu memberi harapan bagi mutu pendidik dan pendidikan kita.

 

Muhamad Mustaqim, M.M., M.Pd.I

Dosen STAIN Kudus, aktif di kajian sosial pada "The Conge Institute" Kudus

(mbs)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini