Share
Sulaiman

Menunggu Kenegarawanan Aktor Politik

Rabu 23 Juli 2014 14:23 WIB
https: img.okezone.com content 2014 07 23 58 1016909 mYlCmdXGhj.jpg
A A A

Patut tersenyum lega, akhirnya pemilu 9 Juli berjalan seperti didamba. Setidaknya jutaan rakyat Indonesia yang terbelah ke dalam dua kubu akibat preferensi politik masing-masing tidak terpicu pada tindakan-tindakan anarkis. Mereka tak terpancing api permusuhan yang digelar para elit. Selagi kondisinya seperti ini, berarti kita telah memetik buah dari kedewasaan berdemokrasi.

Tetapi hasil keputusan KPU tentang siapa dari dua kubu yang perolehan suaranya lebih besar dan lebih kecil baru akan diumumkan tanggal 22 Juli 2014. Itu artinya masing-masing kubu dan seluruh rakyat Indonesia perlu bersabar menunggu hari itu. Mereka perlu mempersiapkan diri menghadapi kenyataan menang atau kalah – dua hal yang tak bisa dihindari dalam kompetisi ini.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Hari itu adalah puncak dari ujian kedewasaan kita berdemokrasi. Siapkah masing-masing bersikap ksatria dengan berbesar hati menerima kekalahan? Siapkah mereka tidak menunjukkan sikap arogansi dalam merayakan kemenangan demi menghormati kubu lainnya?

Jelang hari-hari menuju puncak penghitungan, keadaan memang tidak sepenuhnya bebas dari potensi kerusuhan. Alih-alih bersikap tenang, pendukung dari kedua kubu justru tiada henti saling hujat, adu fitnah, dan komentar yang saling memojokkan. Dengan kata lain, kedua kubu kian memperuncing keadaan dengan tindakan-tindakan tercela.

Bahkan keresahan ini memancing Presiden SBY untuk bersikap tegas. Dia mengatakan “Baik pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK  dan tim (hendaknya) bisa menahan diri untuk tidak memunculkan ketegangan diantara kedua massa pendukung, apalagi gerakan-gerakan di lapangan yang sangat rawan terhadap konflik horizontal”.

Apabila kedua kubu bersedia hati mengurangi tensi arogansi perseteruan dan membuka kelapang-dada-an jiwa dan keluasan pikiran untuk menyerap imbauan damai SBY, maka setidaknya beberapa keuntungan menyertai buah sikap itu. Pertama, tensi ketegangan dari dua kubu beserta efeknya kepada masyarakat di tingkat grassroot akan berkurang.

Kedua, keberhasilan mengurangi ketegangan politik diantara dua kubu dengan mengedepankan sikap damai kian menegaskan kedewasaan aktor-aktor politik negeri ini. Bukankah perseteruan politik kali ini banyak melibatkan tokoh-tokoh publik yang sebelumnya dikenal sebagai sosok negarawan, kelompok cendekiawan, akademisi, ulama dan para aktifis?

Dengan kata lain, mereka adalah aktor-aktor “istimewa” yang seharusnya memberi nuansa berbeda dalam perseteruan politik praktis ini. Dengan latar belakang seorang negarawan, aktifis, akademisi, maupun ulama, mereka memiliki kewajiban moral yang lebih besar untuk mengedepankan jalan damai daripada terus-menerus terjebak pada kemelut permusuhan politik diantara dua kubu. Mereka memiliki kewajiban moral untuk lebih mengedepankan bagaimana keutuhan persaudaraan dapat terjalin dan mengurangi tensi permusuhan antarkubu.

Oleh sebab itu, mereka tidak boleh terjebak pada pertarungan pragmatisme politik semata. Terlalu sempit apabila wawasan dan keluasan pikiran mereka tereduksi dan hanya tercurahkan demi memikirkan menang dan kalah. Jalan keberpihakan mereka kepada masing-masing kubu sebagai pilihan politik tidak boleh mengorbankan cita-citanya untuk memikirkan kebaikan yang lebih besar masa depan negeri ini. Mereka harus tetap menjadi sosok “negarawan”, yang dalam pandangan Thomas Jefferson, sebagai orang-orang yang lebih memikirkan (kebaikan) generasi masa depan daripada sosok “politikus” yang lebih mementingkan pemilihan yang akan datang.

Selagi mereka keukeuh menjaga watak kenegarawanannya, selagi mereka mampu menjaga keberpihakannya pada kebaikan bersama, maka potensi-potensi kericuhan – sebagai akibat kenyataan yang tak mungkin menguntungkan pada kedua kubu sekaligus – mungkin dapat terhindarkan. Selagi mereka mampu menempatkan diri dalam posisi dan sikap tersebut, maka mereka adalah harapan diantara kecemasan menunggu kepastian akhir penghitungan.

Sulaiman

Mahasiswa Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah

Penggiat diskusi di Kajian Sosiologi (Kasogi) Ciputat

(mbs)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini