Share

Beredar Video Anak SD Marah-Marah pada Guru, Ini Kata Pengamat Pendidikan

Muhammad Sukardi, Okezone · Kamis 25 April 2019 14:36 WIB
https: img.okezone.com content 2019 04 25 196 2047923 beredar-video-anak-sd-marah-marah-pada-guru-ini-kata-pengamat-pendidikan-YfxjTrnGlR.jpg Ilustrasi (Foto: Shutterstock)
A A A

SEBUAH video memperlihatkan anak SD marah-marah ke gurunya viral di media sosial. Dalam video tersebut, si anak dalam bahasa Jawa terus menjawab apa yang disampaikan gurunya.

Akun Instagram @indozone coba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam video itu. Seperti yang diterangkan dalam caption postingan, si anak dipanggil ke ruang guru di SD Balongsari I, Surabaya dan kemudian diminta untuk memanggil orangtuanya. Tindakan sekolah ini dilakukan karena ulah si anak yang dianggap keterlaluan.

Diketahui, si anak diduga mematahkan tangan kepala sekolah dengan menendangnya. Karena perbuatannya itu, dia dipanggil gurunya dan diinterogasi. Nah, perekam video yang tidak diketahui identitasnya, merekam semua apa yang terjadi dalam sesi introgasi tersebut.

Saat sang guru meminta si anak untuk memanggil kedua orangtuanya, dia menolaknya. Si anak dengan berani mengatakan kalau apa yang sudah terjadi adalah tanggungjawabnya sendiri dan orangtuanya tidak mesti tahu apa yang baru saja terjadi.

 Baca Juga: PNS Dilarang Obesitas, Peneliti: Kegemukan Pengaruhi Struktur Otak!

Kemudian, pihak sekolah pun capek meladeni anak tersebut. Si guru kemudian mengatakan ke si anak kalau pihak sekolah kemudian pasrah dengan apa yang sudah dilakukan si anak SD tersebut. Pihak sekolah juga sampai mengatakan kalimat ini, "Sekolah nggak butuh kamu, kamu yang butuh sekolah".

Video viral ini pun kemudian menjadi pembicaraan banyak netizen di media sosial. Banyak yang menyayangkan sikap anak muda sekarang yang seperti itu. Namun, apakah memang ini hanya salah si anak? Atau pihak sekolah juga punya kelalaian di sini?

Okezone coba mendiskusikan kasus ini pada Pengamat Pendidikan Itje Chodijah. Menurutnya, kekesalan yang terlihat dari si anak adalah akumulasi dari emosi dia selama ini. Pemukulan atau tindakan kekerasan yang dilakukan si anak adalah medium dia dalam meluapkan emosi negatif yang ada di dalam dirinya.

 

"Ini adalah special case kalau menurut saya. Di sekolah, tidak bisa dipungkiri kalau ada anak yang memiliki perilaku saya tidak bisa bilang menyimpang, tapi kurang terarah," terangnya saat diwawancarai Okezone melalui sambungan telepon, Kamis (25/4/2019).

 Baca Juga: Jangan Diputusin Dulu! Ini 5 Langkah Taklukan Pasangan Workaholic

Itje menjelaskan, kita sebagai orang dewasa memberikan treatment yang kurang tepat, sehingga si anak lebih memilih menyimpan sakit hatinya yang kemudian tidak bisa dia lontarkan seketika. Emosi itu muncul ketika ada kekuasaan.

Nah, jika melihat kasus si anak SD ini, Itje menilai, si anak sangat takut dengan orangtuanya. Itu kenapa, saat pihak sekolah ingin mendatangkan orangtuanya ke sekolah, dia menolaknya. "Anak usia segitu tidak mau dilaporkan orangtua karena takut," jelas Itje.

Dia juga menilai kalau orangtua si anak mendidik dia dengan relatif keras. Ketika anak itu tidak bisa mengelurakn tekanan-tekanan yang ada di dalam dirinya, dia cari tempat keluarkan kekesalan itu. Sekolah menjadi pilihannya!

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Pihak sekolah punya tanggang jawab moral untuk memperbaiki sikap anak murid

Itje menyayangkan kasus ini bisa terjadi. Dia yakin, pasti anak tidak akan mendadak brutal seperti hari ini. Pasti anak memiliki perilaku kurang pas sejak awal dia masuk sekolah.

"Ketika anak baru masuk kelas 1 SD, mestinya sekolah SD mengawal psikologi anak, mendeteksi perilaku anak sejak awal, dan segera bekerja sama dengan orangtua agar si anak bertumbuh ke arah yang lebih normal," paparnya.

Deteksi awal ini menjadi hal mutlak dan bagi Itje, di sekolah itu tidak dilakukan. Hal ini yang kemudian membuat anak menjadi lengah dan dia membawa sikap tersebut di momen pertumbuhannya. Nah, ketika anak dianggap memiliki perilaku yang kurang pas, di sekolah itu justru dia menjadi anak yang dicap anak nakal.

Di mana, menurut Itje, tindakan tersebut malah membuat si anak bangga! Kenapa? Karena si anak akhirnya punya kespesialan dalam dirinya. Hal itu bisa dianggap istimewa, karena si anak tidak memiliki keahlian lain yang membuat dia spesial atau istimewa.

"Si anak akan mengambil sisi itu sebagai manifestasi kebanggan dirinya, ini saya sayangkan sekali," keluh Itje.

Peringatan untuk sekolah

Itje memperingatkan kepada guru sekolah dasar untuk memperhatikan perkembangan psikologis anak murid. Jadi, saat anak masuk sekolah kelas 1 SD, pihak sekolah sudah deteksi, ini anak kecenderungan kemana, apa yang kemudian harus dilakukan.

"Karena itu, sekolah harus bekerja sama dengan orangtua secara intensif untuk membentuk kepribadian si anak yang lebih baik. Saya membayangkan anak-anak dengan orangtua bermasalah, maka sekolah harus berupaya ekstra. Sebab, sekolah bukan tempat pembiaran, tapi sekolah tempat pendidikan," tegasnya.

Ketika di sekolah ada anak yang "bermasalah", maka sekolah harus memberikan tenaga lebih. Sebab, kalau sudah menjadi kristal, si anak akan merasa kalau dirinya adalah seseorang yang dia pikirkan. Kalau negatif, ini akan menjadi masalah di kemudian hari.

Dalam kasus ini, apakah sekolah cuci tangan?

Itje mencium ke arah sana. Lalu, dia menyarankan agar sekolah tidak boleh bersikap seperti itu. Di mana sekolah malah menyudutkan si anak dengan sikapnya yang bisa dibilang brutal atau malah menyalahkan keadaan dari si anak itu sendiri.

"Ingat, sekolah punya kewajiban untuk tidak meratakan perilaku. Sekolah itu komunitas, jadi, sekolah tidak bisa hanya mau menerima anak yang bisa diatur, tapi sekolah berhak menerima anak dengan kondisi apapun dan tugas sekolah untuk menjadi solusi agar si anak tidak mengambil manifestasi yang keliru dalam dirinya. Sekolah punya tanggung jawab moral untuk mengatasi masalah ini," paparnya.

Terlebih, sambung Itje, dalam kasus ini sekolahnya adalah negeri. Karena itu, sekolah harus berorientasi pada masyarakat dan mau bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk membenahi anak bangsa.

Saran untuk orangtua dan pendidik

Sementara itu, Itje punya saran untuk orangtua yang mungkin memiliki anak yang sedikit tempramen.

"Bapak dan ibu, kalian mesti sadar, mereka nggak minta lahir, lho. Mereka terlahir dari buah cinta yang kemudian bapak ibu punya kewajiban untuk menjaga dia. Bantulah sejak lahir, bantu si anak untuk bertumbuh menjadi pribadi yang hebat. Kalau punya masalah, jangan diturunkan ke anak sejak usia muda. Sebab, mereka punya kehidupan selanjutnya," ungkapnya.

Lalu, bagaimana kalau memang lingkungan keluarga sudah punya masalah? Itje menyarankan untuk hentikan! Ingat, sekali lagi, mereka itu tidak minta dilahirkan. Jaga mereka.

Kemudian, untuk pihak sekolah, bilik sekolah dasar itu sama pentingnya dengan bilik rumah tangga. "Pendidik adalah pengasuh anak berikutnya di luar rumah. Sekolah punya kewajiban untuk mengembangkan anak menjadi pribadi yang luar biasa," tambahnya.

1
3

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini