MESKIPUN saat ini Indonesia tengah menghadapi Pandemi Covid-19, tapi bukan berarti kita harus mengabaikan penyakit lainnya. Banyak penyakit yang berbahaya masih ada di Indonesia, salah satunya adalah penyakit Tuberculosis atau TBC.
TBC adalah penyakit menular yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis yang secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu TBC Sensitif Obat (TBC SO) dan TBC Resisten Obat (TBC RO).
TBC SO adalah kondisi di mana kuman Mycobacterium tuberculosis masih sensitif terhadap Obat Anti TB (OAT) dengan masa pengobatan selama kurang lebih 6-9 bulan, sedangkan TBC RO adalah kondisi di mana kuman Mycobacterium tuberculosis telah mengalami kekebalan terhadap Obat Anti TB (OAT). Masa pengobatan bagi orang dengan TBC RO dapat berkisar antara 9-24 bulan.
Berdasarkan Global TB Report 2020, diperkirakan terdapat 24.000 kasus TBC Resisten Obat (TBC RO) di Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah ini, berdasarkan data rutin Program Nasional Penanggulangan TBC, pada tahun 2019 baru ditemukan 11.463 kasus TBC RO, atau terdapat kesenjangan 52,5 persen dari perkiraan kasus yang ada.
Dari 11.463 kasus tersebut, hanya 5.531 atau 48,3 persen pasien yang sudah memulai pengobatan, dengan angka keberhasilan pengobatan berkisar di antara 49-51 persen dan angka putus pengobatan 24-26 persen per tahun.
Besarnya kesenjangan penemuan kasus dan sedikitnya orang dengan TBC RO yang memulai pengobatan menunjukkan bahwa masih banyak pasien yang belum dapat mengakses layanan dan diagnosis pengobatan. Di sisi lain, besarnya angka putus pengobatan yang berada pada kisaran 24-26 persen turut mempengaruhi angka keberhasilan pengobatan dan meningkatnya risiko penularan TBC RO di masyarakat.
Budi Hermawan dari organisasi nirlaba POP TB Indonesia memaparkan hambatan dan tantangan pasien TBC RO dalam mengakses layanan dan pengobatan. Kurangnya pengetahuan tentang gejala TBC membuat pasien tidak tanggap dalam berobat ketika muncul gejala-gejala tersebut.
"Pemahaman di masyarakat terkait TB masih jadi persoalan, ada anggapan bahwa TB penyakit yang tidak bisa disembuhkan," ujar Budi.
Dia berpendapat, promosi Komunikasi, Informasi dan Edukasi terkait TB oleh pemerintah terhadap masyarakat belum berjalan dengan baik. Faktor ekonomi juga berpengaruh besar. Persoalan ekonomi jadi salah satu penghambat pasien untuk mengakses layanan kesehatan dan membuat mereka malas kontrol.
"Kebanyakan pasien TB adalah kepala keluarga, mereka memilih tidak melanjutkan atau memulai pengobatan yang cukup lama karena alasan ekonomi," jelas dia.
Follow Berita Okezone di Google News