Perhatian netizen Indonesia tengah tertuju pada kasus fetish kain yang melibatkan seorang pria bernama Gilang. Kasus ini mendadak viral, setelah salah seorang korban memberanikan diri untuk speak up di Twitter.
Menurut Ahli Psikologi sosial dari Universitas Pancasila, Dr. Ade Iva Wicaksono, M.Psi, Gilang diduga mengalami gangguan seksual yang dikenal dengan istilah fethisistic disorder. Gangguan ini ditandai ketertarikan seksual sangat intense, pada benda-benda tidak hidup (non-living object) dan bagian tubuh tertentu.
"Fetishistic disorder contohnya seperti ketika seseorang terangsang (seksual araoused) melihat celana dalam wanita, bra, atau bagian tubuhnya. Dan selalu diiringi dengan fantasi. Untuk kasus Gilang mediumnya adalah kain jarik. Dan itu benar membuat dia terangsang," kata Ade saat dihubungi Okezone via sambungan telefon, Jumat 31 Juli 2020.
Predator "Fetish Kain Jarik" Berkedok Riset Akdemik dari Mahasiswa PTN di SBY
— mufis (@m_fikris) July 29, 2020
A Thread pic.twitter.com/PT4G3vpV9J
Menurut buku panduan psikologi, DSM-5 (diagnostic and statistical manual of mental disorder 5th edition), disebutkan ada dua ciri atau gejala yang menunjukkan seseorang mengalami fethisistic disorder.
Baca Juga : Heboh Kasus Fetish Kain Jarik, Ini Gejala Orang Mengalami Fetishistic Disorder
Pertama, seseorang yang memiliki gangguan fetish, biasanya telah mengalami dorongan atau fantasi seksual dalam kurun waktu yang cukup lama atau lebih dari 6 bulan.
"Dalam buku panduan DSM itu, fetish yang dialami seseorang biasanya terjadi dalam durasi paling sedikit 6 bulan saja. Tapi kalau sudah terjadi bertahun-tahun dan terus-menerus, ini sudah pasti ganggugan," ungkap Ade.
Kedua, bila fantasi seksual dan perilaku fetish itu membuat seseorang terganggu, baik secara fungsi sosial dan fungsi pribadi, dapat dipastikan dia mengalami fetishistic disorder.
"Nah, untuk kasus Gilang ini kan dia sudah melanggar hukum. Berarti fungsi sosial dia sudah terganggu. Dia bisa terkena pasal di KUHP terkait pelecehan seksual yang menjurus ke pemerkosaan, karena ada unsur paksaan. Kejadiannya juga sudah berlangsung lama dan terus menerus," kata Ade.
Lantas, apakah gangguan ini bisa disembuhkan? Terkait hal tersebut, Ade menjelaskan bahwa teknik pengobatan fethisistic disorder biasanya dilakukan dengan menggunakan dua metode sekaligus yakni, therapi obat dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT).
"Untuk gangguan-gangguan seperti ini ada kombinasi yang disarankan, ada therapi obat dan CBT. Tujuannya adalah untuk merubah pola pikir si perilaku. Tapi ada catatannya, dia harus berada dalam terapi jangka panjang. Kalau terapi berhenti, bisa kambuh lagi. Jadi keduanya harus terus berjalan bersamaan dan terus menerus," tutur Ade.
Follow Berita Okezone di Google News