Peneliti menggunakan kulit yang didapatkan dari sampel otopsi forensik kulit manusia sebagai medium penelitian. Ini dilakukan karena bagi peneliti sangat tidak etis dan berbahaya ketika percobaan ini dilakukan ke tangan manusia hidup.
"Jadi tim mengumpulkan sampel otopsi forensik kulit manusia yang diperoleh dari Departemen Kedokteran Forensik, Universitas Kedokteran Prefektur Kyoto," tulis laporan.
Para peneliti melanjutkan, kulit manusia yang sudah meninggal, terutama epidermisnya, mengalami kerusakan perlahan setelah kematian dibandingkan organ lain dan ini dapat digunakan untuk pencangkokan bahkan 24 jam setelah kematian.
Sampel diambil dari kulit perut orang yang meninggal berusia antara 20 hingga 70 tahun. Durasi post mortem dalam waktu 24 jam dan sampel kulit ini dipotong menjadi persegi panjang yang ukurannya sekitar 4x8 cm persegi.
Pada proses penelitiannya, para ilmuwan menyiapkan campuran SARS-CoV2 dan virus influenza A (IAV) dengan media kultur atau lendir pernapasan bagian atas. Campuran tersebut kemudian dioleskan ke permukaan kulit manusia.
Setelah itu, peneliti mendisinfeksi permukaan dengan etanol 80 persen dan memeriksa apakah virus bertahan atau tidak. Uji coba ini dilakukan tidak hanya di kulit manusia, tapi juga pada benda mati seperti permukaan baja tahan karat, permukaan kaca borosilikat, dan permukaan polistiren.
Follow Berita Okezone di Google News