Mereka hanya mampu mendapat pekerjaan dengan gaji rendah serta tidak stabil dengan adanya risiko pemecatan tiap saat jika kalah bersaing dalam kualitas kemampuan diri antarpekerja. Salah satunya karena mereka cenderung sering izin absen bila anak sakit bila ketiadaan biaya berobat dari gaji yang rendah.
"Terpisahnya ibu muda dan bayi karena pasangan muda harus bekerja dan pindah rumah, sedang si bayi sejak kecil dirawat nenek dan lingkungan ketetanggannya, juga membuat kedekatan batin (kesehatan mental) sang ibu dan anak tidak terbina dengan baik," kata Prof Meutia.
Maka dari itu, pemerintah dinilai perlu lebih gencar untuk melakukan rekayasa budaya berkaitan dengan pembentukan pola pikir, sikap, dan perilaku baru sesuai dengan tantangan yang dibawa oleh perubahan yang menyangkut nilai, norma, dan sikap tertentu.
"Hal ini perlu dilakukan melalui program-program yang langsung ditujukan kepada anak-anak perempuan dan orang tua untuk mendapat perlindangan berupa pencegahan terhadap pernikahan dini," tandasnya.
Seperti diketahui, Data BPS mencatat bahwa meski angka perkawinan anak secara garis besar mengalami penurunan dari total 11.21% di tahun 2018 menjadi 10.82% di tahun 2019, nyatanya masih ada tren kenaikan di 18 provinsi. Bahkan, tahun lalu, terdapat 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka perkawinan nasional.
Ironisnya, akibat masa bencana non-alam (pandemi Covid-19), UNFPA dan UNICEF memprediksi akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak pada rentang waktu 2020-2030.
Follow Berita Okezone di Google News
(hel)