Terlebih, IHT juga dinilai mempunyai peran besar untuk menggerakkan perekonomian lainnya. Edy memaparkan, industri ini memiliki efek sampai pada akar rumput (grassroot) seperti pertanian.
“Dalam dinamika perekonomian nasional, Industri Hasil Tembakau menjadi penopang atau bantalan ekonomi. Kita harus menyikapi dengan bijaksana regulasi-regulasi yang ada,” tuturnya.
Hal tersebut berkaitan dengan polemik atas pasal tembakau dalam RUU Kesehatan, yakni mulai dari Pasal 154 sampai 158. Termasuk di dalamnya terdapat rencana penyetaraan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika. Serta potensi tumpang tindih kewenangan kementerian berkaitan dengan standarisasi kemasan produk.
Padahal, dalam naskah akademik RUU Kesehatan dimaksud, tidak ada kajian dan analisis yang bisa memperkuat argumen pasal tersebut. Serta tanpa mengkaji berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pertembakauan.
Selama ini, MK telah mengeluarkan 11 putusan terkait ekosistem pertembakauan baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung. Enam putusan di antaranya adalah putusan langsung yang menyebutkan bahwa ekosistem pertembakauan adalah entitas yang legal atau konstitusional.
Tidak hanya itu, industri yang terkait dengan pertembakauan juga berpendapat hal serupa, misalnya industri periklanan. Anggota Dewan Periklanan Indonesia, Hery Margono, mengatakan sejak beberapa tahun terakhir, ada dorongan bahwa iklan rokok tidak diperbolehkan sama sekali. Padahal dalam praktiknya, iklan rokok sudah sangat taat pada peraturan yang ketat.
“Iklan rokok adalah sarana komunikasi. Adanya ketentuan larangan total iklan rokok hingga menyetarakan tembakau dengan narkotika ini menunjukkan adanya kesalahan hukum baik secara substansi maupun fundamental,” ujar Hery.
Follow Berita Okezone di Google News
(fik)








