Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Serba Serbi Sekolah Tatap Muka, Perlukah Khawatir Berlebihan?

Muhammad Sukardi, Jurnalis · Selasa 07 September 2021 00:02 WIB
https: img.okezone.com content 2021 09 06 620 2467091 serba-serbi-sekolah-tatap-muka-perlukah-khawatir-berlebihan-jx5kJ8Us4Y.jpg Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)
A A A

PEMBELAJARAN Tatap Muka akan dilakukan serentak jika tidak ada lagi wilayah di Indonesia dengan status PPKM Level 4. Nantinya, anak berusia di bawah 12 tahun yang belum mendapat vaksin Covid-19 tetap diizinkan untuk sekolah tatap muka dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Hal yang sama juga berlaku pada anak-anak yang menjadi penyintas Covid-19, karena belum bisa divaksin. Meski begitu, Dokter Spesialis Anak dan Magister Sains Psikologi Perkembangan Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), M.Si, mengatakan hal ini harus dibuktikan dengan tes PCR.

"Kalau anak itu PCR-nya sudah negatif, berarti sudah tidak ada virus di dalam tubuhnya. Jadi, dia tidak akan menularkan ke anak lain," terang Prof Soedjatmiko.

Menurutnya, kekebalan si anak yang belum lama ini sembuh dari Covid-19 masih tinggi sampai 2-3 bulan. "Malah, justru dia itu aman meski belum vaksin untuk sekolah tatap muka bertemu teman-temannya," lanjutnya.

"Jadi, boleh, ya, anak yang sudah penyintas Covid-19 untuk sekolah tatap muka, asal si anak benar-benar sudah segar-bugar, sudah bisa main seperti biasa. Dia tidak bisa menularkan (virus) ke orang lagi," terang Prof Soedjatmiko.

Lanjutnya, "Dan sementara waktu dia akan kebal hingga 2 sampai 3 bulan saja. Tapi, setelah itu kekebalannya akan habis," tambahnya.

Sementara itu, Prof Soedjatmiko menambahkan bahwa anak yang berhasil sembuh dari Covid-19 tapi belum melengkapi imunisasi dasarnya, maka segerakan mendapatkan imunisasi dasar tersebut.

"Jadi, kalau sudah sembuh tapi si anak misalnya belum dapat vaksin hepatitis, campak, polio, atau tifoid, atau jenis imunisasi dasar lainnya, segerakan. Jangan tunggu waktu lagi. Tapi perlu diingat, sehabis imunisasi dasar, kalau mau vaksin Covid-19, tunggu 1 bulan dulu, ya, dan pastikan menerima vaksin Covid-19-nya 3 bulan pasca si anak sembuh dari Covid-19," tutur Prof Soedjatmiko.

Follow Berita Okezone di Google News

Dia melanjutkan, ketika Sekolah tatap muka dilakukan maka keamanan anak di bawah 12 tahun untuk sekolah tatap muka menjadi tanggung jawab orangtua, guru, maupun pihak lain yang bersinggungan dengan kegiatan sekolah tatap muka anak. "Sebab, penularan bisa terjadi sejak si anak keluar rumah, sampai di sekolah, hingga si anak pulang kembali ke rumah," katanya.

Prof Soedjatmiko yang juga merupakan bagian dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) maupun ITAGI menyatakan, anak-anak yang mengikuti pembelajaran tatap muka harus pakai masker double yang menutupi mulut, hidung, pipi, hingga dagunya.

Soal masker double, usahakan si anak mengenakan masker medis sesuai usianya sebagai masker pertama. Setelah itu, dilapis lagi dengan masker kain yang kembali sesuai dengan ukuran wajahnya. "Kalau mengandalkan masker kain saja yang tipis, bercak ludah bisa tembus, dan ini artinya virus tetap bisa masuk. Berbahaya sekali," terangnya.

Selain itu, salah satu momen yang harus diperhatikan adalah ketika anak pulang sekolah. Pasalnya, mereka yang sudah di atas 10 tahun berpotensi cenderung berbondong-bondong pulang sekolahnya. "Tidak hanya itu, kecenderungan mereka akan ngobrol-ngobrol dengan teman pun sangat bisa terjadi dan ini bisa membuat maskernya melorot sehingga risiko terpapar sangat mungkin terjadi," jelas dia.

Anggota ITAGI tersebut pun menerangkan bahwa risiko penularan Covid-19 saat berangkat sekolah tidak setinggi pulang sekolah. Sebab, saat berangkat sekolah si anak dikejar waktu untuk segera tiba di sekolah. "Nah, kalau pulang sekolah itu relatif longgar. Mereka merasa lebih plong setelah menyelesaikan kewajiban belajar di sekolah dan di situlah risikonya sangat tinggi," ungkap dia.

Untuk mengurangi kejadian si anak bergerombol dan saling cerita dengan temannya karena sudah kangen tidak bertemu secara langsung, Prof Soedjatmiko menyarankan agar pihak sekolah atau orangtua murid menyediakan ruang 'zooming' buat si anak.

"Zoom-nya tapi bukan bahas pelajaran, tapi biarkan si anak ngobrol apapun itu sama teman-temannya. Ini akan membuat hubungan sosialisasi si anak dengan temannya tetap hangat dan tidak membuat momen pertemuan secara langsung menjadi sesuatu yang sangat dinantikan dan malah meningkatkan risiko," paparnya.

"Jadi, biarkan si anak ngobrol apapun itu dengan temannya, sehingga dia rasanya sudah seperti sering ketemu. Ini membuat si anak enggak terlalu excited pas ketemu lagi dan akhirnya risiko masker melorot karena ngobrol dengan temannya menjadi kecil," tambah Prof Soedjatmiko.

1
3

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini