Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Tantangan Pembangkit Listrik Panas Bumi, Harga Jual Mahal dan Pembangunan Lama

Feby Novalius, Jurnalis · Selasa 24 Mei 2022 11:34 WIB
https: img.okezone.com content 2022 05 24 620 2599281 tantangan-pembangkit-listrik-panas-bumi-harga-jual-mahal-dan-pembangunan-lama-7dpUWosk1P.jpg Tantangan Pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi. (Foto: Okezone.com/PGE)
A A A

JAKARTA – Pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) terus ditingkatkan di Indonesia. Sejumlah kebijakan dalam industri kelistrikan pun harus terus ditambah supaya pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan bisa dicapai.

Hal itu penting dilakukan agar kepentingan jangka pendek dan menengah untuk memenuhi kebutuhan listrik saat ini dengan harga terjangkau dan tidak membebani Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN), bisa selaras dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.

“Hal ini tentang tarik-menarik antara soal penyediaan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat dan besaran subsidi dalam APBN dengan visi negara untuk menyediakan energi bersih berbasis EBT dan sekaligus mengurangi sebanyak-sebanyaknya pembangkit listrik berbasis fosil,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Selasa (24/5/2022).

Baca Juga: Pertamina Cari Partner Garap Harta Karun Energi Terbesar Dunia, Minat?

Seperti diketahui, sesuai Kesepakatan Paris, Indonesia sudah mencanangkan Karbon Netral (Net Zero Emission) pada 2060 atau lebih cepat. Sebagai target antara, Indonesia akan mengejar bauran energi (energy mixed) di sektor kelistrikan sebesar 23% pada 2025, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada 2030 dengan usaha sendiri atau 41% jika ada bantuan internasional.

Pada 2021, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tingkat bauran energi masih 13%. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2021-2030 disebutkan bahwa untuk mencapai bauran energi 23% pada 2025, akan ada tambahan pembangkit berbasis energi baru terbarukan sebesar 10,64 GW. Sementara itu, tambahan pembangkit berbasis EBT sampai 2030 sebesar 20,92 GW.

Sampai saat ini, Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load). Pembangkit jenis ini diperlukan untuk menjamin tersedianya pasokan listrik dalam jumlah besar dan kontinyu.

Dari berbagai jenis pembangkit EBT, pembangkit panas bumi menjadi salah satu yang bisa menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit base-load.

Baca Juga: Pertamina Geothermal IPO, Bagaimana Bisnis Panas Bumi?

Menurut data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Indonesia cukup melimpah, yakni sebesar 29.544 MW, sementara yang sudah beroperasi baru 2.276,9 MW atau 7,7%.

Selain potensinya yang besar, kata Komaidi, pembangkit panas bumi juga memiliki Capacity Factor (CF) sampai 90%, jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit EBT lain seperti pembangkit surya (PLTS) sekitar 18% dan pembangkit bayu (PLTB) sekitar 30%.

Follow Berita Okezone di Google News

Persoalannya, kata Komaidi, harga jual listrik panas bumi masih mahal dan masa pembangunannya lama, yakni 7-10 tahun. Harga jual listrik panas bumi saat ini masih sekitar Rp1.191 per kWh, sementara harga jual listrik batu bara hanya Rp653,3 per kWh.

“Kondisi ini membuat kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka. Pemerintah tidak mudah menaikkan tarif listrik tapi juga tidak bisa membiarkan subsidi listrik di APBN membengkak,” ujarnya.

Pada 2022, subsidi listrik dalam APBN ditargetkan Rp56,5 triliun, tapi membengkak karena kenaikan harga minyak mentah. Badan Anggaran DPR RI sudah menyetujui penambahan subsidi listrik sebesar Rp3,1 triliun.

Menurut Komaidi, kepentingan jangka pendek seperti itulah yang membuat pembangunan EBT tersendat-sendat, terutama pembangkit panas bumi. Hal ini terjadi karena PT PLN memegang monopsoni (pembeli tunggal).

“PLN tentu saja akan memilih PLTU karena harganya yang murah, sehingga BPP (biaya pokok penyediaan listrik) bisa lebih rendah. Kalau dengan panas bumi, siapa yang akan menutup selisihnya agar BPP PLN tetap affordable?” katanya.

Apalagi, saat ini terjadi kelebihan pasokan listrik akibat penurunan ekonomi selama pandemi Covid-19

Komaidi menjelaskan, dengan posisi seperti itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang memihak pada pengembangan EBT.

“Ini soal visi jangka panjang. Pembangunan EBT seperti panas bumi bisa melintasi 1-3 periode pemerintahan. Karena itu, pemerintah harus konsisten dengan semua perencanaan dan target, meskipun pemerintahannya berganti-ganti. Tanpa konsistensi sulit menjaga target itu tercapai,” katanya.

Salah satu langkah yang sudah tepat, menurut Komaidi, adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling) karena akan mengurangi risiko pengembang yang sangat tinggi di masa-masa awal pembangunan pembangkit panas bumi. Pengembang mesti mengeluarkan biaya operasional sampai 7-10 tahun, sementara pendapatan baru muncul paling cepat pada tahun ke-8.

“Pengembang harus punya pendanaan sendiri yang kuat karena tak mudah mencari financing dari perbankan,” ujarnya.

Dengan government drilling, risiko pengembang di awal masa pembangunan diambilalih pemerintah. Pengeboran eksplorasi yang sudah dilaksanakan pemerintah di Nage, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di Cisolok Cisukarame, Jawa Barat. Sebagai gambaran, harga PLTP Dieng yang dioperasikan PT Geo Dipa Energi (Persero) bisa mencapai USD7-8 sen per kWh. Pengeboran wilayah kerja Dieng dilakukan Pertamina, Geo Dipa hanya membangun pembangkit dan mengoperasikannya. Government drilling mereplikasi model ini.

1
2

Berita Terkait

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini