Dua vaksin Covid-19 eksperimental diklaim memiliki efektivitas lebih dari 90 persen. Hal ini menjanjikan sekali di tengah ketidakpastian yang dirasakan masyarakat sekarang.
Meski begitu, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui apakah efektivitas tersebut berlaku untuk semua kelompok usia, apakah vaksin tersebut efektif juga dalam mencegah seseorang terinfeksi SARS-CoV2 penyebab Covid-19, apakah vaksin tersebut mencegah keparahan pasien Covid-19, dan apakah vaksin itu aman.
Jika membahas soal vaksin, maka yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah masyarakat mau divaksin? Pertanyaan ini yang menjadi penting sekarang. Ya, meski vaksinnya tersedia, apakah vaksinasi masal bisa dilakukan seluruh dunia sehingga pandemi benar-benar berakhir?
Menjawab pertanyaan tersebut, Pauline Paterson, asisten profesor dan co-direktur The Vaccine Confidence Project dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris, punya jawabannya. Laporan tersebut diterbitkan di BMJ.
Menurut Paterson, ada sejumlah survei global yang menunjukkan tingkat penerimaan yang berbeda terkait dengan vaksin Covid-19, mulai dari 67 persen hingga 90 persen. Ini berkaitan dengan harapan masyarakat dunia agar pandemi ini berakhir.
Tapi, angka tidak memperlihatkan 100 persen dan itu berarti ada beberapa kelompok masyarakat global yang masih punya kekhawatiran soal vaksin Covid-19 yang tengah dikembangkan. Situasi ini pun cukup dimaklumi oleh para ahli.
Dalam studi yang dilakukan di Unit Penelitian Perlindungan Kesehatan (HPRU) di bidang imunisasi, kata Paterson, peneliti menanyakan soal vaksin Covdi-19 ini ke orangtua dan wali anak kecil soal apakah mereka bersedia disuntik vaksin. "90 persen dari mereka menjawab bersedia," kata Paterson.
Alasan utamanya adalah vaksin dianggap mampu melindungi diri mereka, keluarga, dan orang lain dari Covid-19. Selain itu, dengan vaksinasi berarti jaga jarak tidak lagi ada.
Baca Juga : Josua Hutagalung Mendadak Jadi Jutawan, Batu Luar Angkasa Temuannya Dibeli Rp25 Miliar!
Sementara itu, alasan mereka yang ragu dengan vaksin berkaitan dengan keamanan, kekhawatiran tentang vaksin baru, kekhawatiran tentang kurangnya bukti penelitian karena terkesan pembuatannya terburu-buru, dan kekhawatiran tentang kurang efektifnya vaksin.
"Beberapa orangtua merasa tidak perlu divaksin, karena mereka sudah terinfeksi Covid-19 atau tidak berada dalam kelompok berisiko," kata Paterson.
Dalam penelitian ini pun ditemukan fakta bahwa orang kulit hitam, Asia, China, campuran, atau etnis lainnya (BAME) 2,7 kali lipat lebih kecil kemungkinannya untuk divaksin daripada kulit putih. Peneliti menilai, temuan ini mengkhawatirkan karena sebagian besar dari kelompok penolak vaksin itu terbukti lebih parah saat terinfeksi Covid-19.
Follow Berita Okezone di Google News