Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Tumbilotohe, Tradisi "Terang Benderang" untuk Melepas Ramadhan

Subhan Sabu, Jurnalis · Minggu 24 Mei 2020 15:08 WIB
https: img.okezone.com content 2020 05 24 620 2218950 tumbilotohe-tradisi-terang-benderang-untuk-melepas-ramadhan-ObTcylTkv1.jpg Istimewa
A A A

GORONTALO - Menjelang perayaan Idul Fitri, masyarakat di Provinsi Gorontalo punya tradisi unik menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan. Tradisi tumbilotohe namanya yang biasanya dilaksanakan pada tiga malam terakhir menjelang hari raya idul fitri.

Istilah Tumbilotohe berasal dari bahasa Gorontalo dan merupakan gabungan dua suku kata, Tumbilo yang berarti pasang dan Tohe yang berarti Lampu. Sesuai namanya Tumbilotohe bisa dikatakan sebagai Tradisi Pasang Lampu.

Lampu-lampu disini merupakan lampu tradisional yang masih menggunakan minyak tanah dengan memanfaatkan botol dan kaleng bekas yang diberi sumbu dan dibentuk dan ditata sedemikian rupa.

Tumbilotohe diyakini merupakan kebudayaan dari masa lampau dan diketahui telah ada sejak abad 15. Pada awalnya masyarakat Gorontalo memasang lampu di depan rumah-rumah mereka sebagai penerangan yang berguna untuk menerangi halaman rumah dan jalanan bagi warga yang ingin melaksankan ibadah di masjid-masjid untuk meraih malam lailatulkadar.

Masyarakat Gorontalo dahulu menggunakan penerangan yang disebut wango-wango. Lampu ini terbuat dari Wamuta atau Selundang yang dihaluskan dan diruncingkan yang kemudian dibakar. Selanjutnya karena menghendaki penerangan yang cukup lama, masyarakat mulai menggunakan Tohetuhu atau Damar atau semacam Getah Padat.

Seiring perkembangannya, Tohetuhu diganti lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa. Penerangan ini menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, dan disebut Padamala.

Kemudian berkembang lagi hingga alat penerangan memanfaatkan minyak tanah. Di jaman sekarang masyarakat Gorontalo juga memanfaatkan ribuan lampu listrik untuk lebih menyemarakkan Tradisi Pasang Lampu ini.

Tradisi Tumbilotohe adalah budaya turun temurun yang telah menjadi ajang hiburan Masyarakat Gorontalo. Disebut-sebut Malam Tumbilotohe adalah yang paling ramai disana. Pada awal pemasangan lampu biasanya dibarengi dengan ramainya anak-anak melantunkan Lohidu atau kalimat pantun “Tumbilotohe, pateya tohe… ta mohile jakati bubohe lo popatii….“.

Keunikan dan banyaknya cahaya yang ada dan nyaris tidak ditemukan sudut kota yang gelap menjadikan tradisi ini tidak hanya dimeriahkan oleh masyarakat Gorontalo namun juga menarik minat masyarakat di daerah sekitarnya.

Gemerlap lentera Tradisi Tumbilotohe banyak yang digantung pada kerangka – kerangka kayu. Dihiasi dengan janur kuning atau dikenal dengan nama Alikusu (hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda) menghiasi kota gorontalo.

Di atas kerangka digantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut Hari Raya Idul Fitri. Bisa didapati pula beberapa formasi lampu-lampu pada lahan luas yang membentuk gambar Masjid, Kitab Suci Al-quran, Kaligrafi serta Tulisan-tulisan unik lainnya.

 Ilustrasi

Seiring perjalanan waktu, tradisi ini semakin berkembang dan dijadikan sebagai festival yang menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara. Pernah di tahun 2007 silam tradisi ini masuk rekor Muri disaat lima juta lampu ikut menyemarakkan dan menghiasi wajah kota Gorontalo.

Kini, ditengah wabah Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19), perayaan tumbilotohe berlangsung sederhana. Tidak seperti malam 27 Ramadhan tahun tahun sebelumnya, perayaan tahun ini tanpa lomba tumbilotohe dan festival bedug.

Perayaan tumbilotohe hanya diisi dengan doa dipimpin seorang imam dan turut dihadiri oleh Gubernur Gorontalo Rusli Habibie beserta ibu Idah Syahidah dengan pemasangan secara simbolis lampu botol yang sudah diletakkan di gapura adat atau alikusu.

“Tradisi ini biasa dilaksanakan tiga hari sebelum idul fitri. Tahun ini masih dalam suasana covid-19 sehingga semua aktivitas menghimpun orang banyak tidak dilakukan. Tumbilotohe juga tidak dilaksanakan besar-besaran, kita sebagai daerah adat hanya melaksanakan di rumah masing-masing dengan kesederhanaan,” ucap Plt Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Asri Banteng.

Meski tidak dilaksanakan secara meriah, Asri berharap makna dari tradisi adat ini tetap menyala di dalam hati warga Gorontalo. Tumbilotohe selain sebagai luapan kegembiraan menyambut malam lailatul qadar juga dimaknai sebagai momentum untuk mengeluarkan zakat fitrah.

“Intinya kita berdoa. Hari ini tumbilotohe juga dilaksanakan di rumah jabatan wakil gubernur dan sekda. Mudah-mudahan ini bisa diikuti oleh masyarakat di rumah masing-masing,” pungkasnya.

Follow Berita Okezone di Google News

(kha)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini