Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Gangguan Mental, Penyakit Kronis, dan OCD Meningkat Selama Pandemi Covid-19

Muhammad Sukardi, Jurnalis · Kamis 12 November 2020 09:59 WIB
https: img.okezone.com content 2020 11 12 620 2308324 gangguan-mental-penyakit-kronis-dan-ocd-meningkat-selama-pandemi-covid-19-yCbRVUe4Rv.jpg Ilustrasi (Foto : Freepik)
A A A

Pandemi Covid-19 berdampak luar biasa untuk kehidupan manusia. Salah satunya bisa dilihat dari terjadi lonjakan kasus penyakit tertentu selama pandemi berlangsung.

Ya, gegara pandemi, penyakit seperti gangguan mental, penyakit kronis, hingga gangguan obsesif-kompulsif meningkat. Luar biasanya, peningkatan kasusnya tinggi dan ini perlu mendapat perhatian semua orang.

Seperti apa kasus setiap penyakit tersebut, berikut ulasan lengkapnya:

1. Gangguan mental

Menurut laporan Live Science, kecemasan, depresi, dan pikiran untuk bunuh diri meroket di tengah pandemi Covid-19. Laporan ini dikeluarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).

CDC menemukan bahwa orang dewasa muda sangat rentan terhadap gangguan mental ini. Para peneliti studi menganalisis informasi lebih dari 5.400 orang dewasa Amerika Serkat berusia 18 tahun ke atas dengan bantuan survei pada akhir Juni 2020.

Dari survei tersebut diketahui fakta bahwa persentase orang Amerika yang melaporkan gejala gangguan kecemasan meningkat sekitar tiga kali lipat dan persentase pelaporan gejala gangguan depresi meningkat sekitar empat kali lipat. Data ini dibandingkan dengan tingkat survei yang pernah dilakukan pada periode yang sama di 2019 atau sebelum pandemi muncul.

Isolasi Mandiri

Secara keseluruhan, dalam survei 2020 diketahui bahwa sekitar 41 persen peserta melaporkan gejala setidaknya satu kondisi kesehatan mental; dengan 31 persen mengalami gejala kecemasan atau depresi, 13 persen memulai atau meningkatkan konsumsi alkohol untuk mengatasi stres yang terkait dengan pandemi, dan hampir 11 persen melaporkan bahwa mereka serius mempertimbangkan bunuh diri.

Jika dilihat dalam kelompok usia, yang paling banyak mengalami gangguan mental selama pandemi adalah kelompok usia 18 hingga 24 tahun dengan persentase kasus, gejala kecemasan atau gangguan depresi (63%), penggunaan zat berbahaya atau mengonsumsi alkohol (25%), dan mempertimbangkan bunuh diri (25%).

Sebagai perbandingan, jika dilihat pada survei nasional pada 2018, sekitar (14%) dewasa uda melaporkan episode depresi berat dan (11%) melaporkan pikiran serius untuk bunuh diri dalam satu tahun terakhir.

Laporan ini terbit di jurnal Morbidity and Mortality Weekly Report pada Kamis, 13 Agustus 2020. Salah satu kesimpulan yang ditarik peneliti adalah pandemi jelas memberi pengaruh pada gangguan mental, khususnya untuk orang dewasa muda.

Baca Juga : Pesona Chef Renatta Moeloek Bergaya Urban Style di MasterChef Indonesia

2. Penyakit kronis

Tidak ada yang membahayakan daripada pandemi Covid-19 bagi orang dengan penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, kanker, masalah pernapasan, atau kondisi kardiovaskular, menurut hasil studi terbaru yang dilakukan di UNSW Sydney.

Pasien PTM atau penyakit kronis itu menjadi lebih rentan terpapar atau bahkan meninggal dunia akibat Covid-19. Di sisi lain, kelompok pasien ini pun mengalami masalah lanin yaitu makan tidak sehat, penyalahgunaan zat, isolasi sosial, dan ini merugikan untuk pasien PTM.

Cemas

Menurut laporan Science Daily, para peneliti juga menemukan bahwa Covid-19 menggangu layanan kesehatan mereka yang sejatinya sangat dibutuhkan pasien PTM untuk mengelola kesehatan mereka.

Penulis utama studi yang diterbitkan di Frontiers in Public Health, Uday Yadav, dari UNSW Medicine, mengatakan bahwa interaksi antara PTM dengan Covid-19 penting untuk dipelajari, karena data global menunjukkan kematian terkait Covid-19 secara tidak proporsional tinggi di antara pasien PTM.

"Studi ini menggambarkan efek negatif dari sindrom Covid-19 yang sering dikenal sebagai 'epidemi sinergis', istilah yang diciptakan oleh antropolog medis Merrill Singer pada 1990-an untuk menggambarkan hubungan antara HIV/AIDS, penyalahgunaan zat dengan kekerasan," kata Yadav.

Ia pun kemudian menerapkan istilah tersebut untuk kasus pasien PTM yang terdampak pandemi Covid-19. "Jadi, orang-orang mengenal Covid-19 sebagai pandemi, tapi kami menganalisanya melalui lensa sindrom untuk menentukan dampak Covid-19 dan pandemi ini di masa depan pada pasien PTM," sambung Yadav.

PTM, sambung Yadav, merupakan hasil kombinasi faktor genetik, fisiologis, lingkungan dan perilaku, dan tidak ada perbaikan yang cepat seperti vaksin atau obatnya. Jadi, tidak mengherankan kalau ahli medis menemukan bahwa keterpaparan pasien PTM terhadap faktor risiko PTM-nya meningkat di tengah pandemi.

"Dan mereka lebih rentan tertular Covid-19 karena interaksi sindrom antara faktor biologis dan sosio-ekologis. Bukti yang kami analisa juga menunjukkan adanya manajemen diri yang buruk pada pasien PTM di tingkat komunitas dan Covid-19 pun menggangu layanan kesehatan masyarakat yang sangat diandalkan pasien PTM," terang Yadav.

Follow Berita Okezone di Google News

3. OCD

Pandemi Covid-19 pun membuat orang dengan gangguan obsessive-compulsive disorder (OCD) meningkat. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya orang yang semakin rajin cuci tangan, tapi yang membedakan dengan penderita OCD, mereka mengalami ketakutan yang menyeramkan jika tidak melakukan aktivitas cuci tangan tersebut.

Karena itu, muncul kelompok orang-orang yang lebih sering cuci tangan dibandingkan orang lain. Penderita OCD bisa mencuci tangannya 60 kali sehari, bahkan lebih banyak selama pandemi Covid-19 ini masih berlangsung.

Cemas

Tidak hanya jadi sering cuci tangan, penderita OCD juga memastikan rumahnya dalam kondisi super bersih dan parahnya, si penderita bisa mengganti pakaian lebih sering dari orang kebanyakan.

"Sebelum menyentuh gagang pintu, dia akan mendisinfeksikannya dulu. Pada situasi yang parah, dia akan sangat marah ketika ada orang yang mencoba mendekati tubuhnya," kata laporan DW.

Tujuannya apa orang dengan OCD melakukan itu semua? Pastinya untuk memberikan rasa aman yang konstan selama pandemi masih berlangsung. Melakukan tindakan tersebut pun dinilai mencoba melindungi tubuhnya dari bakteri, virus, atau kotoran yang berbahaya.

"Jadi, semakin sering melakukan tindakan higienitas, orang dengan OCD akan merasa aman dan nyaman berkegiatan sehari-hari. Itu juga mereka lakukan dengan maksud mengurangi kecemasan dan ketakutan berlebih," kata laporan tersebut.

Sebelum pandemi Covid-19, perilaku ini seringkali dianggap aneh, tidak normal, atau bahkan gila oleh sebagian orang. Tapi sekarang sudah berubah, ya, kegiatan seperti ini dianggap wajar dan tentunya harus dilakukan. Tapi, menjadi kekhawtairan adalah ketika kegiatan higienitas itu malah membuat Anda sendiri tidak nyaman menjalani hidup.

Lena Jelinek dari Medical Center Hamburg-Eppendorf (UKE) melakukan penelitian yang mengamati dampak pandemi dan ketakutan baru serta pembatasan terhadap penderita OCD.

Survei online terhadap 400 orang dirancang untuk mengetahui bagaimana keadaan orang dengan OCD selama pandemi dan apakah situasi mereka semakin buruk atau lebih baik. Seperti apa hasilnya?

"Lebih dari dua pertiga responden mengatakan bahwa mereka memperhatikan bahwa gejala kompulsif mereka semakin memburuk," kata Jelinek. "Dan di antara mereka yang semakin banyak cuci tangan, perbaikan dirinya malah semakin buruk dan kondisinya makin parah," sambungnya.

Dari hasil studi ini, peneliti pun kemudian mengkahwatirkan bahwa penderita OCD akan terus bertambah selama pandemi Covid-19 masih berlangsung.

1
2

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini