MESKIPUN batik memang tengah digembor-gemborkan oleh pemerintah bahkan Istana Negara menggelar Istana Berbatik, tapi pada kenyataannya industri batik saat ini tengah kesulitan meregenerasi pengerajinnya.
Berdasarkan data dari APPBI Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia, di tahun 2020 lalu diperkirakan jumlah pengerajin batik mencapai 151.565 orang. Namun saat ini, hanya tinggal 37.914 pengrajin saja yang masih berproduksi. Tak hanya itu, imbas pandemi Covid-19 ini juga menyebabkan banyak pengrajin terpaksa alih profesi. Data yang dikeluarkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat, PDB subsektor fashion menurun hingga -2,81% pada tahun 2020.
Christian Saputra selaku Founder Batik Concept menyebut saat ini generasi muda minim minat untuk membatik. Hal ini terbukti dari usaha milik keluarga mereka, yang kesulitan untuk mencari pengerajin batik. Bahkan, di salah satu workshopnya di Cirebon, Jawa Barat, jumlah pengrajin batik muda hanya tersisa dua orang dari total 25 pengrajin, selebihnya didominasi oleh lansia. Tak heran bila Christian menyebut bahwa batik sejatinya adalah tradisi yang nyaris mati.
“Batik itu dying tradition. Generasi muda cenderung lebih tertarik dengan pekerjaan yang serba instan dan cepat. Sementara proses produksi batik tulisa bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan. Akhirnya banyak yang memilih merantau ke kota-kota besar untuk mendapatkan pekerjaan yang menurut mereka lebih layak,” tutur Christian Saputra.
Pernyataan Christian bukan tanpa alasaan, untuk memproduksi satu kain batik tulis saja bisa memakan waktu dua sampai enam bulan tergantung tingkat kesulitan.
Secara rinci, setidaknya terdapat 12 tahapan dalam proses pembuatan batik tulis. Dimulai dari nyungging (membuat pola di atas kertas), njaplak (menyalin pola ke media kain), nglowong (membatik dengan canting), ngiseni (mengisi bagian-bagian kosong dalam pola), nyolet (memberi warna pada kain), mopok dan nembok (menutupi bagian tertentu dalam pola).
Kemudian dilanjutkan dengan ngelir (mencelupkan kain ke dalam ember berisi perwarna), nglorod (melunturkan malam pada kain), ngrentesi (memberi titik atau garis di sekitar pola), nyumri (menjemur kain hingga kering), dan terakhir melunturkan seluruh malam di kain batik dengan merendam di air mendidih.
Sehingga dibutuhkan kesabaran dan ketelitian untuk menghasilkan produk batik tulis yang berkualitas. Hal inilah yang jarang ditemui pada generasi muda. Di sisi lain, para pengrajin batik di daerah juga masih kurang mendapatkan apresiasi, baik dari segi pendapatan maupun penghargaan untuk karya yang mereka ciptakan.
"Sudah proses produksinya menyita waktu, pendapatan mereka juga bisa dibilang tidak setimpal dengan waktu yang mereka habiskan. Jadi kalau tidak ada passion di bidang seni batik, wajar saja mereka memilih pekerjaan yang lain," ungkapnya.
Follow Berita Okezone di Google News