Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Pelaku Pemberi Stigma pada ODP, PDP dan Jenazah COVID-19 Alami Gangguan Mental, Jangan Ditiru!

Muhammad Sukardi, Jurnalis · Selasa 14 April 2020 11:37 WIB
https: img.okezone.com content 2020 04 14 620 2198852 pelaku-pemberi-stigma-pada-odp-pdp-dan-jenazah-covid-19-alami-gangguan-mental-jangan-ditiru-yZ4cSAgW9i.jpg Ilustrasi. Foto: Okezone
A A A

Jadi, proses terbentuknya stigma itu dimulai dari informasi yang diketahui masyarakat mengenai status si korban stigma. Ketika masyarakat tahu kalau misalnya korban membawa embel-embel COVID-19, maka masyarakat mulai memberikan cap 'pembawa masalah'.

Setelah itu, tanda tersebut diyakini dengan misalnya korban memiliki kondisi kesehatan yang terus memburuk sehingga pelaku menganggapnya berbahaya. Stereotipe pun diberlakukan, korban semakin disudutkan.

Situasi bisa saja semakin buruk ketika tahu korban stigma ternyata diketahui menularkan virus tersebut ke orang lain. Tak ayal, masyarakat akan merespons pemberian prasangka. Pada akhirnya, korban mendapat perlakukan masyarakat.

"Menolaknya, mengasingkannya dari lingkungan sosial, dianggap aneh, bahkan untuk jenazah ditolak dikebumikan di tanah tempat masyarakat itu menginjakkan kaki," sambung Suminarti.

Tapi, sayangnya penolakan itu tak disadari masyarakat telah memberi dampak buruk ke si korban. Masyarakat hanya bersikap benar menurut mereka: menjauhkan si korban dari lingkungan sosialnya.

Dampak buruk itu sebut saja kecemasan luar biasa. Kalau kondisi ini sudah terjadi, maka akan sangat mudah bagi korban kehilangan kesehatan tubuhnya. Imunitasnya dirusak oleh perasaan tidak tenang, ketakutan, dan merasa dijauhi lingkungan.

"Kondisi itu akan menghambat metabolisme tubuh, menghambat peredaran darah, menghambat detak jantung dan ini semua yang akan menimbulkan penyakit fisik lain si korban. Jadi, muncul penyakit baru yang awalnya situasinya sangat psikologis, bisa berubah pada penyakit psikis," papar Suminarti.

#Pelaku pemberi stigma alami gangguan mental

Fakta mengejutkan disampaikan dalam meeting Zoom Covid Talk MCCC dengan tema 'Stigma ODP, PDP, Perantau, Tenaga Medis, dan Jenazah (Terduga COVID-19) tersebut. Dikatakan di sana, pemberi stigma berkaitan erat dengan masalah gangguan mental.

Itu terjadi karena pelaku memberikan stimulus negatif pada otaknya dan perilaku korban. Sehingga tidak tercipta kesejahteraan psikologis di sana yang mana menurut WHO, ada empat indikator yang bisa menjelaskan Anda sehat mental. Kriteria sehat mental itu antara lain mengenali potensi dirinya, mampu menghadapi stres sehari-hari, produktif, dan bermanfaat untuk orang lain.

Dijelaskan pula oleh Psikolog Ratna Yunita, Setiyani Subardjo M.Si., stigma itu sebetulnya merupakan kontrol sosial atas penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan itu perilakunya, hanya saja kemudian stigma berkembang menjadi label negatif karena kita seringkali tidak bisa membedakan mana label tindakannya dan mana individu atau kelompoknya.

"Kondisi ini yang kemudian membuat label itu melekat pada diri individu. Nah label yang melekat ini tentu sangat mempengaruhi bagaimana perilaku orang lain terhadap orang yang mendapatkan stigma. Situasi ini memunculkan yang namanya diskriminasi berujung viktimisasi," paparnya.

Lalu, bagaimana kemudian bisa dikatakan pelaku pemberi stigma mengalami masalah dalam kesehatan mentalnya?

"Jika kita lihat konteks pelaku, mungkin fisiknya baik yang artinya sehat. Tapi, psikisnya? Mungkin saja ada trauma masa lalu yang dia alami atau ada emosi yang tidak mampu ditahan. Kemungkinan juga ada kepanikan sampai dia berani melakukan perilaku mengusir, menolak, dan mengintimidasi korban stigma," ungkapnya.

Dosen Psikologi Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta ini pun melanjutkan, lalu dari segi sosial, para pelaku ini memiliki tingkat pengetahuan yang tak menyeluruh sehingga menimbulkan perilaku yang 'menyimpang'. Ini juga bisa saja ada campur tangan hoaks yang memang masih ada di tengah masyarakat kita.

Tidak hanya itu, menurutnya, ada aegosentris dan arogansi kelompok tertentu di tengah masyarakat yang merasa paling benar. Kemudian, bicara mengenai spiritualnya, apakah para pelaku ini betul-betul sudah menjalankan perintah Tuhan dengan baik? Ya, bisa saja spiritualnya hanya sebatas label karena mereka memperlakukan manusia lain dengan tidak manusiawi. Memperlakukan manusia lain secara tidak terhormat. "Padahal, itu kan bagian dr sprititualisme," tegasnya.

Follow Berita Okezone di Google News

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini