Pemeriksaan Rapid Test Covid-19 diakui Badan Kesehatan Dunia (WHO). Tes antigen tersebut dinilai lebih cepat dan murah dalam melacak keberadaan virus corona yang mana ini sangat diperlukan negara dalam mengatasi pandemi.
Dijelaskan Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Rapid Test sangat penting untuk mencari keberadaan virus di tengah masyarakat. Dengan pelacakan yang cepat, diharapkan tindakan isolasi kontak dekat bisa segera dilakukan dan penyebaran virus bisa dihentikan.
"Rapid Test berkualitas tinggi menunjukkan kepada kita di mana virus bersembunyi, yang merupakan kunci untuk melacak dan mengisolasi kontak dekat dengan cepat, serta memutus rantai penularan. Test ini pun penting bagi pemerintah yang ingin ekonominya membaik, sejalan juga dengan upaya menyelamatkan nyawa manusia," kata Dr Tedros, dikutip dari laman resmi WHO.
Dalam laporan tersebut, WHO pun diketahui siap menyalurkan 120 Rapid Test ke negara-negara berpenghasilan rendah hingga sedang. Harga per unitnya sekitar Rp74 ribuan dan akan disebarkan dalam periode 6 bulan ini.
Rapid Test yang 'dijual' WHO tersebut diklaim bisa mengeluarkan hasil test hanya dalam waktu 15 menit, jauh lebih baik dari apa yang sudah ada di pasaran. Ya, kita tahu bersama, hasil Rapid Test bisa memakan waktu setengah atau bahkan sejam.
Tujuan WHO jelas, supaya pelacakan virus corona di masyarakat bisa diperluas sehingga pengendalian penyakit bisa dilakukan dengan benar. Rapid Test tersebut pun dinilai tidak membenani negara berpenghasilan rendah hingga sedang, karena harganya yang sangat murah.
Sementara itu, para pakar dan ahli kesehatan di seluruh dunia dengan tegas mengatakan bahwa tidak bisa hasil Rapid Test dipercaya. Sebab, tingkat kesalahan hasil Rapid Test cukup tinggi, sehingga bisa memberikan hasil negatif atau positif palsu.
Seperti dijelaskan Direktur Laboratorium Mikrobiologi Klinis di Vanderbilt University Medical Center, dr. Romney Humphries, Ph.D, pada Fox News, Rapid Test memiliki akurasi deteksi 75-80 persen, sedangkan PCR Test, akurasinya bisa mencapai 90-95 persen. Ini yang menjadi kekurangan dari Rapid Test Covid-19.
Karena itu, menjadi sebuah fakta ketika hasil Rapid Test Covid-19 menyatakan non-reaktif tetapi sejatinya di dalam tubuh pasien terdapat virus SARS-CoV2 penyebab Covid-19.
"Kemampuan Rapid Test untuk mengidentifikasi dengan benar mungkin tidak selalu relevan secara klinis. Ini bisa terjadi karena tingkat virus di dalam tubuh seseorang sangat rendah, sehingga tak 'terbaca' Rapid Test," paparnya dikutip dari New York Post.
Tingkat virus yang rendah ini maksudnya adalah kondisi saat pasien baru mulai terpapar virus sehingga infeksi yang terjadi belum begitu parah. "Saat virus sudah mereplikasi menjadi semakin banyak, di situlah dikatakan tingkat viral load tinggi," terang dia.
Baca Juga : Cantiknya Amanda Manopo Pakai Dress Kupu-Kupu, Bang Billy: Baby I Like It
Dengan fakta tersebut, dr Humphries pun mengkhawatirkan potensi terjadinya penyebaran virus yang lebih masif karena status 'bebas corona' yang tak valid dari Rapid Test Covid-19.
Keraguan hasil Rapid Test pun disampaikan The Infectious Disease Society of America (IDSA) dalam makalah ekstensif tentang pengujian serologis Covid-19. Dalam laporan tersebut, para peneliti di organisasi itu menemukan fakta bahwa pengujian antibodi tidak cukup baik untuk menentukan kekebalan atau risiko infeksi ulang. Ada anggapan juga bahwa antibodi bisa larut dalam darah dan karena itu, pengujian antibodi dinilai tak penting.
"Tes antibodi ini tidak dapat menginformasikan keputusan untuk menghentikan jarak fisik antar orang atau mengurangi seseorang untuk menggunakan alat pelindung diri," tulis laporan IDSA, menurut New York Post.
Follow Berita Okezone di Google News