Share
Nyalakan notifikasi untuk berita terbaru dari Okezone

Tiga Diaspora Indonesia Kisahkan Kehidupan Semasa Wabah COVID-19 di AS

Rahman Asmardika, Jurnalis · Minggu 26 April 2020 08:56 WIB
https: img.okezone.com content 2020 04 26 620 2204997 tiga-diaspora-indonesia-kisahkan-kehidupan-semasa-wabah-covid-19-di-as-gec9DM5UnT.jpg Foto: Okezone.
A A A

PANDEMI virus corona (COVID-19) yang melanda dunia mepengaruhi kehidupan banyak orang di berbagai negara, dengan penerapan berbagai kebijakan untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut.

Tiga diaspora Indonesia yang berada di Amerika Serikat (AS) berbagi kisah bagaimana kehidupan di negara yang dinilai terkena pengaruh pandemi Covid-19 terburuk di antara negara-negara lain di dunia, dengan lebih dari 800.000 kasus dan sekira 51.000 kematian yang disebabkan wabah ini.

Helmi Johannes, seorang jurnalis senior yang saat ini bekerja dan tinggal di Washington DC, AS mengungkapkan bahwa sampai saat ini negara-negara bagian di Negeri Paman Sam tidak menerapkan penguncian (lockdown) yang ketat layaknya di negara-negara Eropa yang juga memiliki jumlah kasus Covid-19 yang tinggi, seperti Italia dan Spanyol.

“Di Amerika kan pemerintahan federal, jadi masing-masing negara bagian mengeluarkan, di sini istilahnya bukan lockdown tapi stay at home order (perintah tinggal di rumah),” jelas Helmy dalam acara bincang-bincang yang disiarkan langsung di Instagram jurnalis Devi Trianna (devi_trianna_) pada Sabtu malam (25/4/2020).

Di negara bagian Virginia, di mana dia tinggal, perintah itu berlaku hingga 10 Juni mendatang. Selama perintah tinggal di rumah yang diberlakukan menurut pedoman Pemerintah Federal itu, kegiatan perkantoran dihentikan. Begitu juga dengan sebagian besar kegiatan bisnis, hanya tempat usaha yang penting (essential) yang diizinkan untuk buka.

Helmi Johannes. (foto: Instagram/helmijohannes)

Beberapa negara bagian di AS, seperti Georgia dan North Carolina telah mulai melonggarkan perintah tersebut dan mengizinkan bisnis-bisnis kecil untuk kembali buka, sesuai dengan pedoman dari Pemerintah Federal tersebut.

“Ada guideline (pedoman) dari Pemerintah Federal, arahannya adalah negara bagian yang sudan menunjukkan penurunan (kasus Covid-19) selama dua minggu, diperbolehkan membuka sedikit demi sedikit bisnisnya,” ujarnya.

Follow Berita Okezone di Google News

Dia juga membenarkan bahwa ada demonstrasi di sejumlah negara bagian menuntut dicabutnya perintah tinggal di rumah, yang sudah diterapkan sekira lima minggu. Para demonstran menginginkan dibukanya kembali tempat-tempat usaha karena mereka tidak dapat bekerja dan kehilangan penghasilan akibat perintah tersebut.

Menurut Helmi kebijakan itu telah membuat 26 juta orang mengajukan tunjangan pengangguran, yang berarti mereka kehilangan pekerjaan setelah perintah tinggal di rumah diberlakukan.

Pengalaman Baru

Sementara Boudy Nelwan, seorang diaspora Indonesia di Fontana, California menceritakan bahwa di pemerintah di negara bagian tempat tinggalnya masih mengizinkan kantor-kantor untuk buka. Meski begitu, para karyawan dipersilakan memilih apakah ingin bekerja di kantor atau di rumah.

“Tidak lockdown, kita hanya dapat stay home order, jadi masih ada yang bekerja di tempat kerja, saya volunteer (suka rela) kerja dari rumah karena merasa tidak aman,” kata pria yang tinggal telah tingal di AS selama lebih dari 20 tahun itu.

Boudy Nelwan (kiri). (Foto: Instagram/Boudy129)

Selain kantor, tempat-tempat usaha vital seperti supermarket masih diizinkan buka, meski para pengunjung diwajibkan untuk menjaga jarak. Sementara tempat hiburan seperti Disneyland, bioskop, gym, bahkan mal telah diperintahkan untuk tutup.

Menurut Boudy, ada beberapa kebijakan unik yang diterapkan di California semasa Perintah tinggal di rumah ini diberlakukan, seperti penggunaan kamar hotel untuk menampung para gelandangan, karena shelter yang penuh di tengah epidemi.

Hotel-hotel juga menyediakan kamar bagi para petugas medis untuk mandi dan membersihkan diri setelah pulang dari rumah sakit atau pekerjaan mereka, agar mereka tidak menyebarkan virus corona.

“Ada beberapa perawat teman saya, mereka pulang kerja, mereka boleh berhenti di hotel untuk mandi di situ. Jadi ada hotel yang buka,” terangnya.

Perhatian bagi para pekerja kesehatan juga ditunjukkan kedai kopi di California yang memberikan minuman kesehatan bagi mereka. Meski ada Perintah tinggal di rumah, beberapa kedai kopi tetap buka, namun hanya melayani pesanan bawa pulang (take away).

Perintah tinggal di rumah itu juga tentu saja mempengaruhi kegiatan belajat mengajar di California, sehingga sekolah-sekolah, yang kini harus dilakukan dari jarak jauh, melalui internet. Terkait hal itu, Boudy mengatakan pemerintah memberikan bantuan dengan membagikan laptop dan internet gratis bagi para siswa yang tidak memiliki laptop atau akses internet.

Boudy mengatakan warga di California masih diizinkan untuk berolahraga di tengah perintah tinggal di rumah, namun mereka diwajibkan mengenakan masker, bagi Boudy keadaan ini adalah sebuah pengalaman baru.

“Selama 20 tahun kita tinggal di California kita tidak pernah hanya tinggal di rumah, mau melakukan apa-apa susah,” katanya.

Seperti Situasi Perang

Animator Indonesia, Wahyu Ichwandardi atau yang dikenal sebagai Pinot, yang saat ini tinggal di New York juga merasakan pengalaman serupa, meski begitu dia mengaku tidak merasakan hal yang terlalu berbeda.

“Berbeda mungkin dari segi krisisnya. Mungkin kontrasnya, Times Square yang bisanya jadi tempat orang numplek (ramai), berkumpul jadi sepi, mungkin dari segi pemandangan saja,” ujarnya.

Menurut Pinot, Perintah tinggal di rumah tidak terlalu berpengaruh terhadap keluarganya karena mereka telah terbiasa, karena tinggal pernah tinggal di Kuwait dalam waktu yang cukup lama.

Dia menjelaskan, selama tinggal di Kuwait, lingkungan di kota itu, dan suhu udara yang panas membuat keluarganya banyak menghabiskan waktu di rumah. Pengalaman itu membuat Pinot dan keluarganya bisa betah di rumah dengan melakukan berbagai kegiatan, seperti membuat komik.

New York adalah negara bagian di AS yang dianggap sebagai pusat penyebaran wabah Covid-19, dan salah satu yang terkena dampak paling parah, bahkan mungkin yang terparah di antara negara-negara bagian lainnya. Uniknya, di situasi itu, menurut Pinot tidak ada stigmasisasi negatif terhadap pasien yang diduga, berpotensi atau positif Covid-19.

“Di New York, orang-orang lebih melihat ini seperti situasi perang. Jadi pasien juga dianggap sebagai manusia biasa, wong gelandangan juga dianggap sebagai manusia biasa, dikasih tinggal di hotel karena shelter sudah penuh,” paparnya.

Dia juga membenarkan bahwa tenaga dan fasilitas medis di New York kewalahan menghadapi lonjakan jumlah pasien, dan mengalami kesulitan menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi para pekerja medis.

“Sebenarnya tidak cuman New York, tetapi karena di sini episenternya, jadi semua panik.”

Cerita ketiga diaspora itu disampaikan dalam sesi #berbagiceritadirumah yang disiarkan secara langsung pada Sabtu (25/4/2020) melalui Instagram jurnalis senior Devi Trianna (devi_trianna_), yang saat ini tinggal di Inggris. Dalam sesi tersebut, Devi juga mewawancarai tiga narasumber lainnya: Refina Muhammad, seorang penulis dan editor yang tinggal di Prancis; Andi Tinnelung, jurnalis dan vlogger yang berdomisili di Berlin, Jerman; dan Yulia Kartini, diaspora yang bermukim di Bergamo, Italia.

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini